Wafatnya Abdullah Bin Umar

Itulah logika Abdullah bin Umar! Dan begitu pula argumentasinya. Nyatalah bahwa dia menghindar dan tidak mau melibatkan diri dalam peperangan bukan karena lari sebagai pengecut atau sikap-sikap negatif lainnya. Melainkan semata-mata karena menolak dan tidak mengakui adanya perang saudara antarumat Islam. Di samping dia juga sangat tidak menyukai seorang muslim yang menggunakan senjata kepada sesama muslim.

Masa-masa kejayaan Islam memang dipenuhi dengan kemakmuran. Harta kekayaan melimpah ruah. Jabatn-jabatan penting dan tinggi diperebutkan. Akibatnya, ketamakan, keserakahan, dan gila pangkat menjadi penyakit-penyakit yang menimpa banyak orang. Namun, kualitas jiwa Abdullah bin Umar sangat mengagumkan. Dia bisa mendisiplinkan diri untuk terus berjalan di atas jalan yang telah digariskan oleh Allah dan rasul-Nya.

Allah SWT mampu mengubah watak zaman, dari ketamakan, keserakahan, serta ambisi kepangkatan yang meresahkan menjadi ketidakpedulian pada harta, terjaga dari hal-hal yang tidak baik, serta penuh perdamaian; paling tidak bagi diri Abdullsh bin Umar dan orang-orang yang mengikuti jejaknya.

Sang pahlawan telah menghadapi perubahan zaman dengan ketekunan, kegigihan, keyakinan, dan ibadahnya. Sikap hidupnya yang telah dicetak oleh Islam sejak masa-masa awal kehidupannya bernama Rasulullah Saw., ternyata tidak bisa ditundukkan oleh kekuatan apa pun. Dia tetap tegar dengan prinsip hidupnya yang amat mulia, tetap bergerak maju menuju puncak keagungan ruhaniahnya. Hingga orang-orang yang sezaman dengan berkata memujinya: “Abdullah bin Umar wafat dalam keadaan seperti Umar dalam keagungan.”

Bahkan saking kagumnya kepada Abdullah bin Umar, sampai-sampai mereka membandingkannya dengan kata-kata, “Umar bin Khattab hidup di zaman di mana orang-orang seperti dia cukup banyak, tetapi Abdullah puteranya hidup di zaman di mana tidak ada orang seperti dia.”

Barangkali ini adalah sikap yang berlebihan, namun bisa dimengerti dengan melihat kenyataan bahwa Abdullah bin Umar memang berhak untuk menerimanya.

Dan, pada tahun 73 Hijriah matahari pun condong ke barat, sebuah perahu keabadian mendarat tenang dipelabuhannya menjemput ruh Abdullah yang suci. Kemudian, mengembangkan layar kasih dan kerinduan membawanya berangkat menuju alam kelanggengan nan penuh rahmat, meninggalkan tubuh pelaku kehidupan wahyu di Makah dan Madinah, Abdullah bin Unar bin Khaththab r.a.

Catatan : Sumber Cerita dari buku” para Sahabat “ karya kiai Fuad HASYIM Cirebon

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *