Menurut Rumi, Tuhan telah memberikan kebebasan memilih kepada manusia yang tidak diberikan kepada mahluk lain. Kebebasan memilih ini mendapat dukungan nash-nya dari al Quran yang menjelaskan adanya sebuah “amanat” yang dititpkan Tuhan kepada manusia (QS.33:72).
Bagi Rumi, “Amanah” ini tak lain adalah kebebasan memilih sebagai konsekwensi dari penerimaan amanat tersebut. Rumi memberikan argumen-argumen yang sangat masuk akal tentang kebebasan memilih ini.
Pertama : kalau manusia tidak memiliki kebebasan memilih (Ikhtiar) dan semua perbuatan telah ditentukan oleh sebelumnya oleh Tuhan, mengapakah kalian marah ketika seseorang melakukan kejahatan kepada kalian?
Mengapa?
Karena kita yakin bahwa orang tersebut bisa melakukan pekerjaan lain yang lebih baik dan terpuji.
Argumen kedua : kalau manusia begitu tidak berdaya untuk memilih perbuatanya kecuali yang ditentukan tuhan sebelumnya, mengapa manusia harus merasa bersalah atau malu ketika ia melakukan dosa atau kesalahan?
Itu karena dalam hati, kita yakin bahwa dosa yang kita lakukan adalah hasil pilihan sadar kita.
ketiga : Kalau semua perbuatan manusia sudah ditentukan sebelumnya oleh Tuhan, dan kita sama sekali tidak mempunyai daya untuk memilih tindakan kita, mengapa al Quran banyak mengandung perintah dan larangan kepada manusia? Bukankah ini menunjukkan bahwa ia bebas memilih untuk taat atau membangkang? Dengan konsekwensi masing-masing pilihan tentunya.
Tulisan ini saya sarikan dari buku Prof.Mulyadhi “Lentera Kehidupan : Panduan Mamahami Tuhan, Alam, dan Manusia” pada pembahasan
“Takdir Sebagai Hukum Kehidupan”.
Menurut saya buku ini penting dibaca oleh tidak hanya kaum akademisi tapi juga khalayak umum meskipun ditemukan beberapa istilah asing yang mungkin kurang familiar bagi pembaca pemula. akan tetapi kelebihan Prof.Mulyadhi yang mampu menyajikan tema-tema berat nan-sensitif dengan bahasa yang renyah,mudah dan sederhana karena dibumbuhi dengan kisah-kisah dan analogi sehari-hari.